Dieng Culture Festival adalah festival budaya terbesar yang
diadakan setiap tahunnya di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Warisan budaya
ini baru diselenggarakan secara besar-besaran lima tahun belakangan. Acaranya
terdiri dari parade budaya, festival film, jazz atas awan, gebyar lampion,
pesta kembang api, dan acara puncaknya adalah ruwatan rambut gembel yang
dilakukan di candi Arjuna
Bagaimana kalau mau ikutan festival? Ini yang perlu
diperhatikan teman-teman. Tiket DCF hanya dijual online di website resminya
yaitu Dieng.co. Pengalaman saya di DCF yang diselenggarakan 30-31 Agustus 2014
kemarin adalah kehabisan tiket kelas VIP, padahal acranya masih 2 bulan lagi.
Tiket kelas VVIP dan Festival baru dibuka tanggal 1 Agustus 2014. Malam itu
saya begadang untuk menunggu tanggal 1 Agustus. Apa daya tiketpun tak bisa
didapat. Saya harus berebutan tiket dengan ribuan orang. Tidak kurang dari satu
jam tiket sudah terjual habis. Kalau nggak mau repot, mending cari agen travel
yang buka open trip ke Dieng. Saya saranin 2 bulan sebelumnya harus sudah
booking. Kalau nggak, harus nunggu tahun depan. Untungnya masih ada seat
tersisa di travel @sociotraveler. Dengan mengikut open trip dari @Sociotraveler
saya sudah mendapatkan transport, tenda, makan, dan juga tiket VIP DCF (dapat
goodie bag yang di dalamnya ada kaos, kain batik, jagung untuk dibakar, dan
lampion. Akhirnya bisa juga ke Dieng. Oh iya satu hal lagi, jangan nekat ke
Dieng kalau belum dapat homestay. Tenda juga nggak boleh sembarang didirikan di
sana. Suhu udara di Dieng sangat dingin, bisa sampai minus. Kalau nggak mau
mati kedinginan, mending bersabar nunggu tahun depan.
Perjalanan kalau dari Jogja ke Wonosobo memakan waktu kurang
lebih 4 jam, naik ke Dieng sekitar 1.5 jam. Kemacetan mulai terjadi di Dieng,
mobil-mobil dan para wisatawan membanjiri jalan. Beberapa mobil stasiun TV juga
terparkir di halaman homestay. Inikah acara yang paling ditunggu-tunggu para
penggila Dieng Plateau. Selain acara DCF sendiri, ada bebarapa tempat wisata
yang bisa dikunjungi seperti; kawah Sikidang, Museum Kailasa, komplek candi
Arjuna, candi Gatot Kaca, Theater Dieng Plateau, gunung Sikunir, Batu Ratapan
Angin, Telaga Warna, Telaga Cebong, dan masih banyak yang belum sempat saya kunjungi.
Kalau ada acara DCF komplek candi Arjuna di tutup. Sesampainya di venue DCF,
bagi peserta DCF yang tidak kebagian homestay disediakan area untuk mendirikan
tenda. Saya dan teman-teman dari @sociotraveler tidur di tenda. Untung kami
diberi tahu membawa jaket tebal 2. Kami tidur menggunakan berlapis-lapis baju
dan jaket.
Disinilah kami tidur kedinginan hampir membeku |
Ini area untuk tenda |
Luarrr biasa dinginnya Dieng. Benar kata orang, Dieng adalah
Eropanya Jawa. Suhu di Dieng bisa sampai minus saat musim kemarau. Saya sudah
membuktikannya, pagi-pagi bangun di atas tenda embun sudah mengkristal menjadi
es. Suhu kira-kira 0°C kebawah alias minus.
Bukan hanya suhunya yang seperti di Eropa, pemandangan sekitar juga seperti di Eropa. Pohon-pohon pinus yang berjajar rapi, dengan latar pegunungan yang diselimuti kabut. Sayang kurang salju.
Ini sunrise dari Dieng |
Ini bukan di Eropa lho. ini Dieng-Indonesia |
Kami mencuri waktu untuk berkunjung ke kawah Sikidang di hari
pertama. Berjalan kaki ke kawah melewati pedagang oleh-oleh khas Dieng. Mata
pencaharian penduduk Dieng paling banyak dari wisatawan. Banyak penduduk yang
sudah bisa jadi pemandu wisata, penyewaan homestay, pedagang di kawasan wisata,
dan petani. Hasil bumi masyarakat Dieng yang bisa dijadikan oleh-oleh; cabe
khas Dieng yang montok-montok, manisan buah carica, dan kentang. Masyarakat
Dieng juga kreatif, saya melihat bunga Edelweis yang dipajang di meja pedagang,
bagus-bagus.
Batangnya bukan di ukir tapi asli bermotif |
Liht nih cabe Dieng, montok kan? |
Rizky menyanyikan Begitu Indah- Padi |
Langit Dieng indah sekali malam itu. Saat Jazz atas awan
berlangsung, para peserta ada yang menerbangkan lampion. Penyelenggara juga
memanjakan mata kami dengan suguhan pesta kembang api. What a wonderful night! Salah satu anak berambut gembel, -Rizky
namanya, iku bernyanyi memeriahkan panggung jazz atas awan.
Bulan sabit ikut memeriahkan langit malam Dieng |
Acara puncak DCF yaitu ruwatan rambut gembel. Banyak orang
yang salah mengerti tentang rambut gembel. Rambut gembel tidak seperti rambut
gimbal. Anak-anak berambut gembel, sebelumnya berambut normal seperti anak
lainnya. Suatu ketika si anak demam/ sakit barulah muncul rambut gembel itu. Rambut
gembel itu adalah rambut yang saling menempel sehingga terlihat kusut. Tidak
semua rambutnya mengusut/menggembel, hanya beberapa. Jadi rambut gembel tidak
bisa disisir. Saya masih penasaran bagaimana rambut gembel itu bisa terjadi. Belum
ada penelitian juga yang bisa menjelaskan mengapa rambutnya bisa menggembel.
Menurut kepercayaan penduduk setempat, anak-anak gembel merupakan titisan dari
Kiyai Kolodite dan Nyai Nyi Roro Rence. Saya sempat bertanya-tanya tentang
mitos tersebut ke salah satu penduduk. Kiyai Kolodite adalah tokoh masyarakat di
Dieng. Kiyai Kolodite berpamitan kepada masyarakat hendak pergi ke suatu
tempat. Sebelum pergi Kiyai Kolodite berpesan bahwa; kalau ada anak berambut
gembel, itu adalah keturunanku (Kiyai Kolodite). Sampai sekarang Kiyai Kolodite
tidak ditemukan jasadnya dimana. Rambut gembel tidak boleh dipotong
sembarangan, harus didoakan terlebih dulu oleh pemangku adat Dieng. Tidak boleh
dipaksa untuk dipotong, harus anaknya sendiri yang minta dipotong, kalau tidak
si anak akan sakit-sakitan. Orangtua juga harus bersedia memberikan mahar yang
akan diminta oleh si anak berambut gembel ini. Tahun ini ada tujuh anak yang
dipotong rambut gembelnya. Permintaan dari mereka pun macam-macam. Ada yang
minta sepeda, coklat satu keranjang, es lilin punya tetangga, handphone. Yang
paling lucu adalah anak yang minta kambing berbulu gembel.
Lucuny anak ini. Ceria banget mau di ruwat |
Ini kambingnya klas VVIP lho! hehe |
Saya juga salut
dengan anak yang bernama Vera, dia hanya minta didoakan agar sehat dan panjang
umur.
Ini yang namanya Vera, cantik ya? Rambut gembelnya mengeras |
Sebelum dipotong, rambut anak gembel akan dilakukan prosesi jamasan terlebih dulu
di rumah pemangku adat. Pemotongannya baru dilakukan di komplek Candi Arjuna.
Para pemangku adat bersiap memanjatkan doa-doa sebelum dilakukan prosesi
pemotongan rambut gembel. Pemotongan rambut gembel dilakukan oleh tokoh
masyarakat seperti Bupati dan Walikota, dari Banjarnegara (kota-Dieng). Setelah selesai, rambut gembel akan dihantarkan ke Telaga warna untuk dibuang.
Formasi lengkap para Bupati dan Walikota Banjarnegara beserta 7 anak berambut gembel |
Lihatlah betapa antusiasnya masyarakat. Ribuan pasang mata
menyaksikan pemotongan rambut gembel.
Pers dari berbagai media |
Anak-anak gembel ini bak artis sehari,
karena bukan hanya kami saja yang bisa melihat mereka, tapi beberapa stasiun TV
swasta telah mendokumentasikan acara ini untuk disiarkan ke seluruh Indonesia. Dan
mungkin saja bisa dilihat oleh orang asing diluar negeri. Banggakan menjadi
orang Indonesia? Maka dari itu kita patut mensyukuri dan mewariskan
budaya-budaya yang ada di negeri kita tercinta.
Sebelum pulang kami mampri ke Batu Ratapan Angin untuk berpose berlatar belakang Telaga warna. Indahnya Dieng...
Sebelum pulang kami mampri ke Batu Ratapan Angin untuk berpose berlatar belakang Telaga warna. Indahnya Dieng...
Terimakasih Dieng,
Kehangatan warga membuat kita tidak membeku karena suhu Dieng yang dingin. Terimakasih juga karena telah memberikan memori yang indah untuk dikenang. Tahun depan kalau ada kesempatan saya akan datang lagi.
Satu hal bila kita berkunjung ke bumi orang, jangan
meninggalkan sampah. Yang ditinggal biarlah jejak kaki kita saja, agar nanti
suatu saat kita bisa kembali lagi.
Salam traveler, backpacker, fotografer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar